Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Optimalkan Setoran Pajak Korporasi, Ini yang Harus Dilakukan

Pratama IndomitrabyPratama Indomitra
15 Juli 2024
in Liputan Media
Reading Time: 3 mins read
133 1
A A
0
153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kontan.co.id | 14 Juli 2024


KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Otoritas Pajak perlu mengintensifkan upaya untuk menutup celah kebocoran pajak dari berbagai perusahaan di Indonesia.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, masih ada banyak perusahaan sawit yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Situasi ini mengakibatkan potensi penerimaan negara yang seharusnya dikumpulkan menjadi terhambat. Hal ini telah menyebabkan tekanan pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari perusahaan yang bergerak di sektor komoditas.

Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research, menjelaskan bahwa pertumbuhan jumlah Wajib Pajak Badan dalam beberapa tahun terakhir masih rendah, hanya berkisar antara 6% hingga 8%. Ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi pajak dari perusahaan yang belum tersentuh oleh sistem pajak saat ini.

“Informasi mengenai perusahaan sawit yang belum memiliki NPWP adalah bukti nyata bahwa sistem pajak kita belum merata di seluruh sektor ekonomi,” ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Minggu (14/7).

Selain bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk pertukaran data, otoritas pajak perlu melakukan inspeksi lapangan secara aktif. Kantor Pajak di berbagai daerah harus memastikan bahwa setiap potensi ekonomi dapat terdeteksi oleh sistem pajak.

Selain perlu upaya yang komprehensif dengan memperbaiki sistem perpajakan, Wahyu bilang, struktur organisasi perpajakan juga diperlukan payung hukum yang bisa membatasi transaksi tunai.

“Pemerintah mungkin bisa mempertimbangkan membuat Undang-Undang (UU) pembatasan transaksi tunai. Dengan membatasi transaksi tunai, kegiatan ekonomi yang akan terpantau karena harus melalui sistem perbankan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menjelaskan bahwa pemerintah perlu mengoptimalkan kepatuhan pajak dari para Wajib Pajak Badan (WP Badan). Dari hitungannya, masih ada potensi sekitar 20% lebih yang belum tergali dari WP Badan.

Kemudian, otoritas pajak perlu juga memperketat pengawasan terhadap tax evasion atau penghindaran pajak di perusahaan. Menurutnya, hak tersebut penting mengingat sistem pajak di Indonesia menganut sistem self assessment.

“Jadi DJP harus kreatif untuk profiling Wajib Pajak. Wajib Pajak yang terbukti melakukan penghindaran pajak harus diberikan efek jera,” kata Ariawan.

Internationak Montery Fund (IMF) memperkirakan Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar 3,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Mengingat PDB Indonesia pada kuartal I-2024 saja mencapai Rp5.288,3 triliun atas dasar harga berlaku, maka jika menggunakan estimasi IMF, Ariawan menghitung, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar 3,7% dari PDB akibat penghindaran pajak dan praktik ilegal lainnya.

“Maka perkiraan jumlah potensi yang hilang adalah Rp 195,67 triliun untuk satu triwulan (kuartal). Ini tentu bisa ditingkatkan lagi pengawasannya,” jelas Ariawan.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga memberikan catatannya untuk meningkatkan pengawasan pajak korporasi.

Misalnya dari industri sawit, Fajry menyebut, otoritas pajak bisa menerbitkan NPWP secara jabatan. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan secara sembarangan lantaran perlu data yang mendukung.

“Sedangkan integrasi ini salah satunya ditujukan untuk memudahkan otoritas pajak menggunakan/mengolah data dari pihak ketiga. Mengingat sebagian besar data dari pihak ketiga menggunakan identitas NIK bukan NPWP,” kata Fajry.

Kemudian dari sisi kepemilikan lahan sawit, jika permohonan perizinan tersebut hanya menggunakan data KTP, maka otoritas pajak yang mendapatkan data dari kepemilikan sawit tersebut akan lebih mudah mengolahnya dengan adanya integrasi NIK menjadi NPWP.

Namun yang menjadi masalahnya, kata Fajru, perizinan hanya diwajibkan bagi perkebunan sawit dengan kondisi tertentu. Sebut saja bagi perkebunan sawit dengan luas 25 hektar atau lebih saja. Padahal, jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan luas perkebunan sawit, sekitar 45,1% perkebunan sawit di Indonesia dikuasai oleh perkebunan rakyat.

Oleh karena itu, kunci untuk melakukan ekstensifikasi adalah melalui penguatan basis data, salah satunya dengan mengintegrasikan NIK menjadi NPWP.

“Namun, kalau data dari pihak ketiga tidak mencakup sebagian besar pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, itu menjadi tantangan lain bagi otoritas pajak,” imbuh Fajry.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, penerimaan PPh Badan yang cenderung menurun tidak dapat diatasi secara cepat dengan cara menaikkan jumlah Wajib Pajka atau tarif pajaknya.

Prianto menyebut, cara yang paling efisien dalam mengoptimalkan penerimaan PPh Badan adalah dengan intensifikasi objek pajak untuk tahun pajak 2019-2024.

Menurutnya, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selama ini sudah melakukan cara tersebut dengan penerbitan surat cinta berupa Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK). Kemudian, langkah selanjutnya adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.

“Dua cara di atas harus melalui proses interaksi dengan Wajib Pajak. Selain itu, Wajib Pajak juga dapat memberikan penjelasan sesuai bukti transaksi yang mereka miliki. Kalau masih kurang yakin, Wajib Pajak juga dapat memanfaatkan jasa konsultan pajak,” kata Prianto.


Artikel ini telah tayang di laman Kontan.co.id dengan judul “Optimalkan Setoran Pajak Korporasi, Ini yang Harus Dilakukan” pada 14 Juli 2024, melalui tautan berikut:

Tags: Penghindaran PajakPPh BadanWajib Pajak
Share61Tweet38Send
Previous Post

Negara Rugi Akibat Kantong Warga RI Kering, Pemerintah Harus Apa?

Next Post

Integrasi NIK-NPWP dan Data Matching

Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Related Posts

Tax Buoyancy
Liputan Media

Pelemahan Daya Respons Penerimaan Pajak

19 Februari 2025
Image by freepik
Liputan Media

Skandal eFishery, Cermin Buram Tata Kelola Perusahaan

17 Februari 2025
Tata kelola Perusahaan
Liputan Media

Revisi Undang-Undang BUMN: Langkah Maju atau Tantangan Baru?

7 Februari 2025
PPN
Liputan Media

Menyoal Keberpihakan dalam Kebijakan Pajak

5 Februari 2025
Cukai MBDK
Liputan Media

Merancang Cukai Minuman Berpemanis yang Terintegrasi

4 Februari 2025
Foto oleh yusuf habibi
Liputan Media

Dilema Pajak Kelas Menengah, PTKP Turun atau PPN Naik jadi 12%?

23 Desember 2024
Next Post

Integrasi NIK-NPWP dan Data Matching

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.