Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Masuk Daftar Pra-Kajian: Tepatkah Detergen Dikenakan Cukai?

Pratama IndomitrabyPratama Indomitra
30 Juli 2024
in Liputan Media
Reading Time: 3 mins read
126 10
A A
0
cukai atas detergen
155
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kabarbursa.com | 27 Juli 2024


KABARBURSA.COM – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa beberapa barang telah masuk dalam daftar pra-kajian untuk dijadikan objek cukai.

Barang-barang tersebut antara lain rumah, tiket pertunjukan hiburan seperti konser musik, makanan cepat saji (fast food), hingga tisu. Selain itu, smartphone, MSG, batubara, hingga deterjen juga termasuk dalam radar pra-kajian pengenaan cukai.

Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menyatakan bahwa hal ini merupakan langkah yang sah. Menurutnya, cukai memiliki potensi besar dalam kontribusi penerimaan negara. Ia menjelaskan bahwa cukai, seperti pigouvian tax, memiliki dua keuntungan utama, yakni pengurangan eksternalitas negatif dan peningkatan penerimaan negara

“Jika kita melihat negara lain seperti Kamboja atau Thailand, cukai berpotensi besar dalam kontribusi penerimaan negara. Jadi langkah ini sah-sah saja,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Sabtu 27 Juli 2024.

Lebih lanjut, Fajry menekankan bahwa tidak semua objek cukai berkaitan dengan eksternalitas negatif. Selama barang tersebut memenuhi karakteristik yang tercantum dalam Pasal 2 UU Cukai, yaitu (1) konsumsinya perlu dikendalikan, (2) menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau (3) pungutannya demi keadilan dan keseimbangan. Jika sesuai dengan itu maka barang dapat dijadikan objek cukai.

“Untuk menjadi objek cukai tidak selamanya terkait dengan eksternalitas negatif. Asal dia masuk ke dalam karakteristik Barang Kena Cukai seperti dalam Pasal 2 UU Cukai. Contohnya (3) pungutannya demi keadilan dan keseimbangan. Lebih terkait keadilan sosial,” jelasnya.

Fajry juga menjelaskan bahwa dalam memilih barang yang akan dikenakan cukai, terdapat tiga kategori utama yang harus diperhatikan. Pertama, barang tersebut harus sesuai dengan karakteristik yang diatur dalam UU Cukai. Kedua, jumlah pelaku usaha yang terlibat dalam industri tersebut juga menjadi pertimbangan penting, terutama terkait dengan kemudahan administrasi.

“jangan sampai kita mengenakan cukai pada industri yang sedang sunset. Penerimaannya tidak akan sustainable,” tutur Fajry.

Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, turut angkat bicara mengenai penambahan objek cukai. Menurutnya, penambahan objek cukai harus dilihat berdasarkan Pasal 2 UU Cukai.

Prianto menjelaskan bahwa ada empat tujuan utama penerapan cukai dalam UU tersebut. Pertama, untuk mengendalikan konsumsi barang yang menjadi objek cukai. Kedua, untuk mengawasi peredaran objek cukai. Ketiga, untuk mengatasi dampak negatif dari objek cukai bagi masyarakat atau lingkungan. Keempat, untuk menambah penerimaan pajak demi keadilan dan keseimbangan.

“Jadi, berdasarkan ketentuan di atas, tujuan penambahan objek cukai tidak sebatas untuk memperkuat keuangan negara sesuai poin keempat dari ketentuan tersebut,” terang Prianto kepada Kabar Bursa, Sabtu 27 Juli 2024.

Dimensi Pengenaan Cukai

Prianto menjelaskan bahwa pengenaan pajak berupa cukai memiliki dua dimensi utama. Dimensi pertama adalah untuk menambah penerimaan negara (fungsi budgetair). Dimensi kedua adalah untuk pengaturan (fungsi regulerend).

Fungsi budgetair dapat berupa pengenaan cukai untuk penjualan batubara, mengingat belakangan ini terjadi kenaikan harga yang signifikan. Sistem Pajak Penghasilan (PPh) tidak optimal diterapkan karena dasar pengenaan pajaknya mengacu pada net income, bukan gross income. Selain itu, sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga kurang efektif diterapkan ketika penjualannya adalah ekspor. Bahkan, pengusaha ekspor batubara bisa meminta restitusi PPN atas masukan mereka.

Di sisi lain, fungsi pengaturan bisa berupa pengendalian dampak negatif dari objek cukai tersebut. Contohnya adalah cukai rokok, plastik, dan minuman berpemanis. Ketika pengenaan cukai difokuskan pada fungsi pengendalian, target utamanya bukanlah peningkatan penerimaan, melainkan pengendalian dampak negatif (eksternalitas negatif).

Prianto menambahkan bahwa hasil penerimaan cukai sesuai fungsi pengendalian akan dimanfaatkan untuk membantu mengatasi dampak negatif tersebut. Cara demikian sering disebut earmarking.

Tepatkah Penambahan Objek Cukai?

Pertanyaan mengenai apakah penambahan objek cukai tepat atau tidak akan tergantung pada tujuan pengenaannya. Masing-masing objek cukai bisa memiliki landasan tujuan yang berbeda.

Kita dapat melihat tujuan pengenaan cukai dari jenis barang kena cukainya. Misalnya, cukai atas rumah, tiket konser, fast food, gawai, tisu, dan batubara lebih fokus pada penerimaan pajak. Sementara cukai atas deterjen dan MSG lebih fokus pada pengendalian eksternalitas negatif.

“Jadi, tepat atau tidaknya arah penambahan cukai tergantung pada tujuannya, sesuai penjelasan di atas,” tandas Prianto. (*)


Artikel ini telah tayang di laman Kabarbursa.com dengan judul “Masuk Daftar Pra-Kajian: Tepatkah Detergen Dikenakan Cukai?” pada 27 Juli 2024, melalui tautan berikut:
https://www.kabarbursa.com/market-hari-ini/69733/masuk-daftar-pra-kajian-tepatkah-detergen-dikenakan-cukai

Tags: Cukai DetergentPenerimaan negara
Share62Tweet39Send
Previous Post

Pajak 2% Orang Kaya, Pemerintah Tunggu Keputusan G20 dan OECD 

Next Post

Pengelolaan Tapera melalui APBN dan Peningkatan Rasio Pajak

Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Related Posts

Tax Buoyancy
Liputan Media

Pelemahan Daya Respons Penerimaan Pajak

19 Februari 2025
Image by freepik
Liputan Media

Skandal eFishery, Cermin Buram Tata Kelola Perusahaan

17 Februari 2025
Tata kelola Perusahaan
Liputan Media

Revisi Undang-Undang BUMN: Langkah Maju atau Tantangan Baru?

7 Februari 2025
PPN
Liputan Media

Menyoal Keberpihakan dalam Kebijakan Pajak

5 Februari 2025
Cukai MBDK
Liputan Media

Merancang Cukai Minuman Berpemanis yang Terintegrasi

4 Februari 2025
Foto oleh yusuf habibi
Liputan Media

Dilema Pajak Kelas Menengah, PTKP Turun atau PPN Naik jadi 12%?

23 Desember 2024
Next Post

Pengelolaan Tapera melalui APBN dan Peningkatan Rasio Pajak

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.