Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
    • ENGLISH
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
    • ENGLISH
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Memahami Primary Adjustment dan Secondary Adjustment di Transfer Pricing

Konsep dan Penerapannya di Indonesia Saat Ini

Dhanika PurnasaribyDhanika Purnasari
3 April 2024
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
240 2
A A
0
Konsep Primary dan Secondary Adjustment di OECD Transfer Pricing
277
SHARES
3.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Seiring berkembangnya zaman, banyak perusahaan yang membentuk grup usaha dalam rangka ekspansi maupun efisiensi.  Tidak sedikit pula perusahaan-perusahaan di dalam satu grup usaha saling bertransaksi. Sebetulnya, transaksi tersebut dapat dilandasi oleh berbagai pertimbangan, misalnya, untuk kemudahan, maupun alasan ekonomis semata. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa transaksi intra-grup tersebut juga dilatarbelakangi oleh perilaku oportunistik berupa penghematan pajak.

Bagaimana penghematan pajak tersebut bisa terjadi? Sebagai contoh, terdapat PT A yang memiliki anak usaha di Singapura, yaitu B Ltd. PT A kemudian berkontrak dengan B Ltd dan berdasarkan kontrak tersebut, PT A harus membayar tagihan ke B Ltd sebesar 100 USD. Melalui transaksi tersebut, PT A memperoleh penghematan pajak sebesar 5 USD yang diperoleh dari perhitungan sbb.:

  • 100 USD menjadi biaya pengurang penghasilan kena pajak PT A sehingga tidak dikenai PPh Badan dengan tarif 22%. Apabila tidak ada biaya tersebut, PPh terutang PT A di Indonesia seharusnya sebesar 22 USD (22% x 100 USD).
  • Karena menjadi penghasilan B Ltd, penghasilan tersebut dipajaki di Singapura dengan tarif 17% sehingga menimbulkan pajak terutang di Singapura sebesar 17 USD (17% x 100 USD).
  • Jika dibandingkan, seharusnya pajak terutang PT A adalah 22 USD, namun karena terjadi pergeseran penghasilan ke B Ltd, pajak yang terutang menjadi 17 USD. Hal ini menimbulkan penghematan pajak sebesar 5 USD di sisi PT A (22 USD – 17 USD).

Transaksi di atas merupakan salah satu contoh dari praktik transfer pricing. Di dalam konteks perpajakan, praktik transfer pricing tersebut dirinci oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) untuk menutup perilaku oportunistik para Wajib Pajak dalam mencari penghematan pajak. Di dalam pedoman OECD, terdapat tiga jenis koreksi transfer pricing, yaitu 1) Primary adjustment, 2) Secondary adjustment, dan 3) Corresponding Adjustment. Pada artikel kali ini, fokus pembahasan adalah di poin 1 dan 2 karena kedua koreksi tersebut yang seringkali digunakan oleh otoritas pajak di Indonesia.

Konsep Primary dan Secondary Adjustment di OECD Transfer Pricing Guidelines 2022

OECD mendefinisikan primary adjustment dan secondary adjustment di bagian glossary OECD transfer pricing guidelines 2022, sbb.:

  • Primary adjustment, an adjustment that a tax administration in a first jurisdiction makes to a
    company’s taxable profits as a result of applying the arm’s length principle to
    transactions involving an associated enterprise in a second tax jurisdiction.
  • Secondary adjustment, an adjustment that arises from imposing tax on a secondary transaction. Secondary transaction is a constructive transaction that some jurisdictions will assert under their domestic legislation after having proposed a primary adjustment in order to
    make the actual allocation of profits consistent with the primary adjustment. Secondary transactions may take the form of constructive dividends, constructive equity contributions, or constructive loans.

Mengacu ke definisi di atas, primary adjustment adalah koreksi pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak setempat atas penghasilan atau biaya Wajib Pajak sebagai akibat dari penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKPU) atau Arm’s Length Principle (ALP). ALP itu sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai prinsip panjang lengan, artinya, transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa harus sebanding nilainya dengan transaksi ke pihak independen.

Sementara itu, secondary adjustment adalah koreksi yang timbul sebagai akibat dari primary adjustment. Berdasarkan definisi tersebut, jika terdapat primary adjustment, penghasilan kena pajak suatu Wajib Pajak akan meningkat (bisa karena koreksi positif di penghasilan atau koreksi negatif di biaya). Di secondary adjustment, peningkatan penghasilan tersebut dapat dimasukkan sebagai dividen, kontribusi di ekuitas, atau pinjaman.

Penerapan Primary Adjustment dan Secondary Adjustment di Indonesia

Primary Adjustment

Pengaturan terkait primary adjustment diterapkan di Pasal 18 ayat (3) UU PPh (UU No. 7/1983 s.t.d.t.d UU No. 7/2021). Melalui Pasal tersebut, pemerintah memberikan kewenangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa sesuai dengan prinsip ALP.

Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 172/2023 kembali menekankan terkait primary adjustment tersebut, khususnya di Pasal 36 ayat (1) sebagaimana dikutip di bawah ini.

“Pasal 36

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.” (PMK 172/2023)

Secondary Adjustment

PMK 172/2023 mengadopsi pengaturan secondary adjustment di Pasal 37 ayat (1) huruf b sebagaimana dikutip di bawah ini.

“Pasal 37 

(1) Dalam hal:

b. Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditemukan selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, selisih tersebut merupakan pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen.” (PMK 172/2023)

Mengacu ke Pasal 37 ayat (1) huruf b PMK 172/2023, jika terdapat selisih atau koreksi dari DJP sehubungan dengan penerapan ALP, selisih tersebut dianggap sebagai pembagian laba atau dividen ke pihak afiliasi. Apa dampaknya?

  • Apabila Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) bertransaksi dengan pihak afiliasi yang juga merupakan WPDN, tidak ada dampak koreksi tambahan karena dividen untuk WPDN Badan merupakan non-objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh. Namun demikian, pengecualian dividen ini masih menjadi pokok perdebatan antara DJP dengan Wajib Pajak karena adanya Pasal 24 PMK 18/2021 yang mensyaratkan adanya RUPS untuk pengecualian dividen dari objek PPh. Meski demikian, jika ditinjau dari asas hukum lex superior derogat legi inferiori (Ketentuan yang derajatnya lebih tinggi membatalkan hukum di peraturan yang lebih rendah), dividen ke WPDN Badan seharusnya dikecualikan dari objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh.
  • Dampak koreksi akan dirasakan oleh WPDN jika bertransaksi dengan pihak afiliasi yang merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Alasannya adalah karena pembayaran dividen merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 oleh WPDN. Dengan dikenakannya secondary adjustment, artinya ada dividen yang seharusnya dibayarkan dan dipotong PPh Pasal 26-nya oleh WPDN. Sebagai hasil dari secondary adjustment tersebut, DJP dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan WPDN harus membayar PPh Pasal 26 terutang beserta sanksinya.

Sesuai Pasal 37 ayat (4) PMK 172/2023, secondary adjustment tersebut dapat tidak berlaku jika:

  • terjadi penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih/koreksi; dan/atau
  • Wajib Pajak menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh DJP.

Sebelum PMK 172/2023 berlaku, secondary adjustment tersebut juga telah diatur di Pasal 22 ayat (8) PMK 22/PMK.03/2020 yang dicabut oleh PMK 172/2023.

Tags: Arm's Length PrincipleDJPinternational taxkoreksiKoreksi FiskalPajak PenghasilanPMK 172/2023PPhprimary adjustmentsecondary adjustmentTransfer Pricing
Share111Tweet69Send
Previous Post

Kapan Batas Waktu Pembetulan SPT Lebih Bayar?

Next Post

Pentingnya SOP Perpajakan

Dhanika Purnasari

Dhanika Purnasari

Assistant Tax Manager, Tax Consulting Division

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post
#image_title

Pentingnya SOP Perpajakan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.