Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Jalan Terjal Bea Materai E-Commerce

Pratama IndomitrabyPratama Indomitra
17 Mei 2022
in Artikel
Reading Time: 3 mins read
128 7
A A
0
154
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Bisnis Indonesia | 13 Mei 2022
Penulis: Ismail Khozen (Senior Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute)

Beragam upaya pembatasan sosial akibat pagebluk Covid sejak 2020 awal menjadi momentum meroketnya ekosistem digital kita. Begitu aktivitas fisik di tempat publik tidak seleluasa sebelumnya, menjadi begitu terasa jika teknologi digital telah menawarkan alternatif penyediaan beragam keperluan masyarakat tanpa harus ke luar rumah.

Laporan e-Conomy SEA yang dirilis Google, Temasek dan Bain & Co di pengujung 2021 mencatat penambahan 21 juta konsumen digital baru sejak awal pandemi. Secara sektoral, pertumbuhan layanan digital didominasi oleh e-commerce yang tumbuh 52 % , disusul media online 48 % , layanan transportasi dan pesan antar makanan 36 % , serta layanan pemesanan tiket perjalanan sebesar 29 %.

Namun di tengah akselerasi ekonomi digital 2021 itu ditaksir senilai US$70 miliar, dampaknya terhadap penerimaan negara tampak tidak cukup signifikan. Menurut catatan Bisnis (24/01/2022), penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di sepanjang tahun lalu hanya sebesar Rp3,9 triliun. Secara teori, semestinya penerimaan pajak dari suatu sektor lebih berdaya ketika pertumbuhannya meningkat (Stiglitz, 2000).

Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah (APBN) sedang berdarah-darah untuk melindungi ekonomi dan kesehatan dari dampak pandemi. Penerimaan pajak sebagai penyumbang porsi terbesar APBN menjadi kian vital dalam membiayai respons ekonomi selama pandemi (Utami & Ilyas, 2021).

Atas dasar itu, pemerintah kemudian merancang perluasan basis pajak di sektor digital. Di antara yang dilirik adalah pengenaan bea materai atas dokumen yang timbul dalam transaksi di e-commerce. Pada tahap awal, bea materai menyasar dokumen kebijakan syarat dan ketentuan atau terms and conditions (T&C), yang biasa muncul kala pengguna membuat akun di platform marketplace.

Seperti diketahui, tarif bea materai dalam rezim UU No. 10/2020 tentang Bea Materai adalah Rp 10.000 yang dikenakan termasuk atas dokumen elektronik. Dengan jumlah konsumen di e-commerce yang menurut data Nielsen Indonesia mencapai 32 juta orang pada 2021, potensi penerimaan bea materai atas T&C pendaftaran akun saja bisa mencapai Rp 320 miliar. Angka tersebut belum memperhitungkan jumlah penjual yang juga terus tumbuh di angka jutaan.

Gelembung harapan penerimaan bea materai kian nyata bila menilik substansi T&C yang terkandung dalam tiap-tiap transaksi di marketplace. Telah diketahui, Pasal 3 UU No. 10/2020 menetapkan pengenaan bea materai atas dokumen kejadian perdata, contohnya surat perjanjian.

Iktikad pemerintah mengenakan bea materai pada e-commerce kian serius dengan diselenggarakannya beberapa kali Diskusi Kelompok Terarah (FGD). Di internal Kementerian Keuangan, FGD diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Komite Pengawas Perpajakan.

Untuk menjembatani kepentingan para stakeholder, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Koordinasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM (Deputi IV) menyelenggarakan FGD antara DJP dan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA).

Sebagai pihak yang akan pertama kali terdampak, idEA paling lantang menyampaikan keberatan. Pada Selasa (19/04/2022), Deputi IV Kemenko Perekonomian secara serempak mempertemukan para stakeholder dimaksud.

Dari sisi legal standing, UU Bea Materai No. 10/2020 memberikan fleksibilitas yang lebih luas dari rezim UU No. 13/1985. Namun, pengenaan bea materai atas T&C masih mungkin menemui kendala karena pengenaan bea materai pada e-commerce belum juga dinyatakan dengan lugas (Paramudhita & Sinaga, 2022).

Jika pemerintah hendak mengenakan bea materai, perlu disiapkan penegasannya dalam payung hukum terkait. Upaya ini terbuka lebar karena Pasal 3 ayat (2) huruf h UU No. 10/2020 mengatur kemungkinan penetapan dokumen lain sebagai objek bea materai melalui Peraturan Pemerintah.

Bagaimanapun bagusnya suatu kebijakan pajak, elemen yang tidak kalah penting adalah bagaimana kebijakan tersebut diadministrasikan (Bird, 2014). Jika T&C menjadi objek bea materai, patut dicermati kembali apakah kebijakan dimaksud memenuhi asas kemudahan administrasi (simplicity).

Pemerintah perlu memperhitungkan biaya kepatuhan (compliance cost) yang ditimbulkan. Pengenaan bea meterai akan berimplikasi pada sumber daya tambahan yang diperlukan e-commerce dalam menyesuaikan dengan kewajiban perpajakan tersebut. Sebagai contoh, mereka mungkin akan perlu meng-upgrade aplikasi mereka sehingga sangat mungkin diperlukan biaya riset dan pengembangan tambahan.

Persoalannya, compliance cost secara empiris berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pajak (Musimenta et al., 2019; Musimenta, 2020). Biaya administratif maupun biaya khusus lainnya berimplikasi secara signifikan pada penurunan kepatuhan pajak. Pengenaan bea meterai pada e-commerce yang tidak diikuti oleh dukungan administrasi kebijakan yang memadai akan menghambat lingkungan digital yang sedang berkembang.

Di era globalisasi, kebijakan pajak yang tidak bersahabat dapat membuka ruang bagi pelarian modal (capital flight) ke negara lain yang kebijakan pajaknya lebih longgar (Abiola & Asiweh, 2012).  Alih-alih penerimaan bertambah, pertumbuhan ekonomi justru bisa kian susut sehingga basis pemajakan yang terserap secara agregat dari perekonomian menjadi terbatas.

Tampaknya, alasan belum ada negara lain yang mengenakan bea meterai e-commerce adalah karena resistensi yang mungkin ditimbulkan. Patut ditunggu, apakah pemerintah akan cukup berani mengambil risiko penurunan keuntungan kompetitif ekonomi digitalnya demi agar produk e-meterai ‘laku terjual’.

 

Artikel ini telah tayang di laman koran Bisnis Indonesia pada 13 Mei 2022 dengan tautan https://bisnisindonesia.id/article/opini-jalan-terjal-bea-meterai-ecommerce 

Tags: Bea Materaie-commerceEkonomi digitalTerm & Condition
Share62Tweet39Send
Previous Post

Kebijakan Jaminan Hari Tua dan Keberpihakan Pemerintah

Next Post

Jebakan Batman “Tax Amnesty Jilid 2”

Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post

Jebakan Batman "Tax Amnesty Jilid 2"

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.