Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Kepatuhan Wajib Pajak Melalui Kepatuhan Sukarela & Terpaksa

Muhammad Akbar AditamabyMuhammad Akbar Aditama
21 Agustus 2024
in Artikel
Reading Time: 3 mins read
127 10
A A
0
156
SHARES
2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa penerapan Core Tax Administration System (CTAS) pada tahun ini diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5% terhadap PDB. Sistem perpajakan canggih ini dijadwalkan untuk diluncurkan pada Desember 2024. Menurut Sri Mulyani, CTAS memiliki potensi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, yang pada gilirannya akan meningkatkan rasio pajak bagi negara.Namun demikian, Sri Mulyani juga berpendapat bahwa perbaikan dalam regulasi dan kebijakan perpajakan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan rasio pajak.

Mengelola keuangan negara adalah tugas yang penuh tantangan, dan kepatuhan wajib pajak menjadi salah satu pilar utama dalam memastikan keberhasilan sistem perpajakan. Tingkat kepatuhan ini tidak hanya mencerminkan sejauh mana masyarakat memahami pentingnya pajak, tetapi juga menggambarkan kualitas hubungan antara masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor yang mendorong kepatuhan atau bahkan ketidakpatuhan wajib pajak sangat penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan.

Pertanyaannya, mengapa ada sebagian orang yang dengan kesadaran penuh melaporkan dan membayar pajak tepat waktu, sementara yang lain perlu diingatkan dengan ancaman sanksi? Fenomena ini memperlihatkan adanya dua bentuk kepatuhan pajak: kepatuhan sukarela dan kepatuhan terpaksa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi apa yang memotivasi kedua jenis kepatuhan tersebut dan mengapa pemahaman akan perbedaannya sangat penting untuk menjaga keberlangsungan sistem perpajakan yang efektif.

Kepatuhan wajib pajak dapat diartikan sebagai kesediaan (sukarela) wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu adanya intervensi seperti pemeriksaan, penyidikan, atau sanksi hukum dan administrasi (Gunadi, 2005). Sejalan dengan ini, Nurmantu dalam Devano dan Rahayu (2006) juga menjelaskan bahwa wajib pajak dapat dikatakan patuh apabila ia mampu memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya dan menggunakan hak-hak perpajakan dengan benar.

Kepatuhan Sukarela dan Kepatuhan Terpaksa

Dalam konteks ini, kepatuhan sukarela terjadi ketika wajib pajak dengan kesadaran penuh melaporkan dan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya tekanan atau paksaan dari otoritas pajak. Kepatuhan ini biasanya muncul dari pemahaman tentang pentingnya pajak dalam pembangunan negara serta rasa tanggung jawab sebagai warga negara. Faktor-faktor seperti transparansi pemerintah dalam pengelolaan dana pajak, kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan, serta kesadaran bahwa pajak yang mereka bayar akan memberikan manfaat kembali kepada masyarakat turut mempengaruhi tingkat kepatuhan sukarela.

Sebaliknya, kepatuhan terpaksa terjadi ketika wajib pajak mematuhi kewajiban mereka karena adanya ancaman sanksi atau tindakan hukum dari otoritas pajak. Ini bisa mencakup denda, bunga, atau bahkan tuntutan pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan pajak. Kepatuhan terpaksa seringkali muncul ketika wajib pajak merasa ada risiko yang terlalu besar jika mereka menghindari kewajiban pajak. Pendekatan ini sering digunakan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mematuhi aturan perpajakan, terutama mereka yang mungkin mencoba menghindar dari kewajiban tersebut.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas perpajakan di Indonesia berharap bahwa wajib pajak memiliki kepatuhan yang bersifat sukarela, bukan terpaksa. Kepatuhan sukarela memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap penerimaan pajak dan mengurangi potensi sengketa antara DJP dan wajib pajak di kemudian hari. Meski demikian, menurut penelitian Allingham dan Sandmo (1972), tidak ada orang yang secara ikhlas ingin membayar pajak. Kebanyakan orang cenderung menghindari pajak untuk menghindari risiko, mulai dari tahap pendaftaran hingga pembayaran.

Kepatuhan Formal dan Materiil

Selanjutnya, penting untuk memahami bahwa ada dua jenis kepatuhan perpajakan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan materiil. Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010), kepatuhan formal merujuk pada kewajiban wajib pajak untuk memenuhi syarat formal perpajakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Sementara itu, kepatuhan materiil adalah kondisi di mana wajib pajak telah memenuhi ketentuan substansi perpajakan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perpajakan, seperti pelaporan SPT Tahunan sebelum atau pada tanggal yang ditentukan.

Dalam menentukan tingkat kepatuhan wajib pajak, Nasucha (2004) mengidentifikasi tiga indikator utama: pertama, kepatuhan seseorang atau badan usaha dalam mendaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP; kedua, kepatuhan dalam membayar pajak yang terutang dengan benar dan tepat waktu; dan ketiga, kepatuhan dalam melaporkan SPT Masa dan SPT Tahunan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Terakhir, penting untuk diingat bahwa ketidakpatuhan pajak tidak selalu berarti pelanggaran yang disengaja. Menurut Jackson dan Milliron (1986), kegagalan seseorang atau badan usaha untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sering kali disebabkan oleh pemahaman yang rumit atau interpretasi yang berbeda terhadap peraturan perpajakan. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi yang lebih baik dan penjelasan yang jelas untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Tags: Kepatuhan SukarelaKepatuhan TerpaksaKepatuhan Wajib Pajak
Share62Tweet39Send
Previous Post

Pajak Penghasilan dan Keadilan Gender

Next Post

Tax Holiday vs Tax Allowance, Apa Bedanya?

Muhammad Akbar Aditama

Muhammad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post

Tax Holiday vs Tax Allowance, Apa Bedanya?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.