Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Mutual Agreement Procedure, Sebelum dan Setelah UU HPP 2021 Terbit

Annisa SakdiahbyAnnisa Sakdiah
23 Juni 2022
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
177 1
A A
0
203
SHARES
2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Mutual Agreement Procedure secara Global

Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda (double taxation). MAP sebagaimana diatur dalam Pasal 25 OECD Model Tax Convention (OECD Model) maupun United Nations Model Double Taxation Convention (UN Model) memberikan win-win solution bagi Wajib Pajak di kedua negara atau yurisdiksi perpajakan karena adanya mekanisme corresponding adjustment. Dengan mekanisme ini, otoritas pajak akan memberi penyesuaian kepada Wajib Pajak sesuai dengan hasil MAP untuk mengeliminasi double taxation.

Merujuk pada Pasal 25 Ayat (1) OECD Model, pelaksanaan MAP tidak dimaksudkan untuk mencabut hak Wajib Pajak pada penyelesaian sengketa domestik. Pengajuan MAP diajukan oleh subjek pajak di negara tempat subjek pajak tersebut terdaftar sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Pengajuan MAP dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun sejak pemberitahuan pertama (first notification) yang menghasilkan sengketa. Di Indonesia, first notification dapat berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Jumlah permohonan MAP meningkat di berbagai negara, akan tetapi angka tersebut tidak seimbang dengan tingkat permohonan MAP yang dapat diselesaikan. Perbandingan antara jumlah permohonan MAP yang belum atau sedang dalam proses penyelesaian tidak sebanding dengan jumlah permohonan MAP yang berhasil diselesaikan. Hal ini bisa dilihat dari The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics yang dirangkum oleh OECD baik secara agregat maupun data setiap yurisdiksi. Misalnya, sengketa pajak yang ditangani dalam prosedur MAP di Indonesia dapat ditinjau dari The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics Indonesia.

Statistik MAP di Indonesia

Berdasarkan The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics Indonesia, total inventaris sengketa yang terjadi adalah 51 kasus dan total yang telah berhasil diselesaikan adalah 12 kasus, sebagaimana dirangkum pada tabel di bawah ini:

Tabel 1 Statistik MAP Tahun 2020 di Indonesia

Kasus yang terjadi sejak 1 Januari 2016Inventaris Kasus Tahun 2020Kasus yang Dimulai Tahun 2020Kasus Diselesaikan Tahun 2020Inventaris Kasus pada Akhir Tahun 2020
Kasus Transfer Pricing2951024
Kasus Lainnya107215

Sesuai data pada tabel di atas, kasus sengketa yang diselesaikan melalui prosedur MAP terbagi menjadi dua jenis kasus, yaitu: (1) kasus Transfer Pricing dengan total kasus per akhir tahun 2020 sebanyak 34 kasus dan jumlah yang telah diselesaikan sejumlah 10 kasus; serta (2) kasus lainnya dengan total kasus hingga akhir tahun 2020 sejumlah 17 kasus dan jumlah yang telah diselesaikan sejumlah 2 kasus. Dengan demikian, jumlah sengketa yang telah diselesaikan melalui MAP pada tahun 2020 adalah sebanyak 12 kasus sehingga masih terdapat 39 kasus yang belum diselesaikan pada akhir tahun 2020.

Jika dibandingkan dengan inventaris kasus yang diselesaikan melalui MAP tahun 2019, peningkatan kasus Transfer Pricing meningkat sebanyak 2 kasus, sedangkan kasus lainnya meningkat sebanyak 3 kasus. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat keinginan kuat dari otoritas pajak di negara-negara anggota OECD untuk menyelesaikan sengketa pajak internasional melalui MAP.

Lebih lanjut berdasarkan The 2020 Mutual Agreement Procedure Statistics Indonesia, proses MAP memerlukan waktu yang cukup panjang. Proses MAP di Indonesia yang diselesaikan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa rata-rata kasus Transfer Pricing yang dimulai sebelum tahun 2016 memakan waktu sekitar 63,54 bulan. Sementara itu, kasus lainnya yang dimulai sebelum tahun 2016 memakan waktu sekitar 103,96 bulan.

Walaupun demikian, MAP tidak mengharuskan pihak yang bersengketa untuk mencapai suatu hasil kesepakatan sebagaimana dinyatakan dalam Paragraf 37 Commentary Pasal 25 OECD Model, meskipun berdasarkan Paragraf 2 Commentary Pasal 25 OECD Model menyatakan bahwa panduan OECD Model menghendaki otoritas berwenang untuk mencapai kesepakatan bersama dalam menyelesaikan sengketa Wajib Pajak sehubungan dengan pemajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam konvensi.

UU HPP: Harapan Terlaksananya Keadilan Prosedur MAP

Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU KUP”) yang disahkan pada Oktober 2021, tepatnya dalam Pasal 27C UU KUP mengatur apabila pelaksanaan MAP belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak tetap melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama atau menggunakan Putusan Banding atau Peninjauan Kembali saat melakukan perundingan atau menghentikan perundingan atas materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.

Ketentuan dalam Pasal 27C UU KUP perihal MAP dalam UU HPP merupakan yang pertama kali diatur dalam UU perpajakan Indonesia. Dalam UU KUP terdahulu belum diatur ketentuan ini (seperti dalam UU Cipta Kerja, UU No. 16/2009, UU No. 28/2007, UU No. 16/2000, dan UU No. 9/1994), walaupun terdapat peraturan pelaksana yang mengatur tentang MAP, seperti Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2019 (“PMK-49/2019”), Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ/2020 (“PER-16/2020”), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. 49/PJ/2021 (“SE-49/2021”) mengenai petunjuk teknis terkait tata cara pelaksanaan MAP. Dalam ketiga peraturan turunan tersebut tidak diatur mengenai fleksibilitas MAP serta pelaksanaan MAP ‘ketika’ MAP tersebut belum menghasilkan pesetujuan bersama sebagaimana yang diatur dalam UU KUP.

Ketentuan MAP yang memberikan fleksibilitas diatur dalam Pasal 27C ayat (3) UU KUP, yaitu pemberian opsi bagi Wajib Pajak untuk memilih kasus-kasus sengketa yang diselesaikan dengan MAP atau di bawah penyelesaian domestik, bahkan jika kasus-kasus tersebut berada dalam SKP yang sama. Akan tetapi, pedoman baru yang diperbaharui dalam UU HPP dapat membingungkan Wajib Pajak yang permohonan MAP-nya masih diproses karena peraturan pelaksana yang terbit sebelum UU HPP masih belum dicabut atau diperbaharui secara hukum. Mengingat PMK-49/2019 memberikan pedoman yang bertentangan pada beberapa persyaratan prosedural dengan ketentuan yang diatur dalam UU KUP tentang MAP. Meskipun demikian, belum ada klarifikasi resmi dari Dirjen Pajak mengenai hal ini hingga saat ini.

Melihat peraturan pelaksana sebelum UU KUP diamandemen dengan UU HPP, proses MAP dihentikan saat terdapat putusan Pengadilan Pajak (PP) atau Mahkamah Agung (MA) sehingga Wajib Pajak akan kehilangan hak dalam memperoleh keadilan atas sengketa double taxation atas isu yang bukan sengketa di PP atau MA. Hal ini tidak sejalan dengan pelaksanaan MAP yang sesuai dengan international best practice sehingga penambahan Pasal 27C UU KUP menjadi solusi atas permasalahan tersebut dan memberikan keadilan kepada Wajib Pajak dalam pengajuan MAP.

Berdasarkan pedoman terbaru MAP dalam UU KUP, Wajib Pajak dapat memilih prosedur penyelesaian sengketa yang ditempuh untuk setiap materi koreksi. Ketentuan ini akan memberikan kepastian bagi Wajib Pajak bahwa MAP dapat berjalan efektif sehingga dapat mengeliminasi double taxation sehubungan dengan koreksi pemeriksa yang diajukan MAP. Oleh karena itu, ketentuan MAP dalam Pasal 27C UU KUP merupakan alternatif penyelesaian sengketa sehingga kedudukan MAP sama atau setara dengan penyelesaian sengketa domestik seperti keberatan dan banding. Dengan demikian, proses MAP dan keberatan atau banding dapat berjalan beriringan.

Tags: MAPMutual Agreement ProcedureOECDPajak InternasionalSengketa PajakTransfer PricingUU HPPUU KUP
Share81Tweet51Send
Previous Post

PPS di Kesempatan Terakhir

Next Post

Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia

Annisa Sakdiah

Annisa Sakdiah

Senior Consultant, Tax Consulting Division

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post

Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.