Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Pajak ”Crazy Rich”: Saatnya Berkontribusi secara Proporsional

Pratama IndomitrabyPratama Indomitra
17 Juli 2023
in Liputan Media
Reading Time: 4 mins read
126 9
A A
0
Crazy Rich

Ilustrasi Crazy Rich

155
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kompas | 7 Juli 2023

Lambang Wiji Imantoro (Tax Policy Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies)

Populasi kalangan superkaya (”crazy rich”) di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Namun, walaupun perekonomian Indonesia terus bertumbuh, tidak demikian halnya dengan pertumbuhan setoran pajak kelompok ”crazy rich”.

Dalam rilis laporan berjudul ”The Wealth Report Segment Wealth Sizing Model” terbitan Knight Frank Global belum lama ini, Indonesia menempati urutan tiga teratas di kawasan Asia untuk urusan peningkatan jumlah ultrahigh net worth individual (UHNWI) tercepat. Menurut Knight Frank Global, UHNWI atau crazy rich adalah orang pribadi yang memiliki kekayaan minimal mencapai 30 juta dollar AS atau Rp 447,1 miliar.

Dalam laporan itu, bersama Malaysia dan Singapura, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan UHNWI tercepat di Asia, yaitu 7-9 persen. Knight Frank Global juga memprediksikan jumlah crazy rich di Indonesia menjadi 651 orang atau tumbuh 17,1 persen pada 2027.

Sepanjang 2022, kelompok wajib pajak orang pribadi (WP OP) yang masuk kategori kelompok crazy rich di Indonesia terus bertambah hingga mencapai 556 orang yang angkanya meningkat dari tahun sebelumnya.

 

Kontribusi pajak minim

Bagaimana kontribusi WP OP crazy rich untuk penerimaan pajak? Pertumbuhan setoran pajak dari kelompok crazy rich berbanding terbalik dengan perekonomian Indonesia yang terus bertumbuh. Direktur Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menyatakan, jumlah UHNWI masih sangat kecil, belum sebanding dengan jumlah WP OP lain.

Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2022, dari total WP yang terdaftar (66,35 juta), jumlah UHNWI hanya 556 orang. Sisanya 61,53 juta atau 92,74 persen merupakan WP OP biasa. Artinya, jumlah UHNWI hanya setara dengan 0,0009 persen dari keseluruhan WP OP.

Kinerja penerimaan pajak sampai akhir Mei 2023 menunjukkan bahwa penerimaan pajak dari UHNWI yang datanya dihitung dan dihimpun dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh 21) dan PPh OP menunjukkan kontribusi dari kelompok UHNWI terhadap penerimaan pajak hanya 0,00011 persen dari total target penerimaan pajak.

Meski jumlah crazy rich diprediksi naik pada 2027, berdasarkan hitung-hitungan sederhana, jumlah kontribusi penerimaan pajak dari kelompok UHNWI hanya 0,00013 persen pada 2027.

 

Menuntut pajak berkeadilan

Jika kriteria Knight Frank Global menyatakan crazy rich ialah segolongan orang yang memiliki kekayaan sekitar Rp 447 miliar, jumlah crazy rich di Indonesia tergolong sangat sedikit.

Langkah awal yang dapat dilakukan oleh pemerintah ialah dengan menambah tarif PPh baru. Sampai saat ini, tarif tertinggi PPh yang dikenakan pada WP OP masih di angka 35 persen untuk golongan WP OP berpenghasilan di atas Rp 5 miliar.

Untuk itu, kriteria paling rasional agar UHNWI bisa dipajaki dengan mudah dan kontribusinya terhadap penerimaan pajak berdampak signifikan adalah dengan mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi pada kalangan crazy rich yang memperoleh penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.

Data yang disunting dari wisevoter.com berjudul ”Highest Taxed Countries” menempatkan Indonesia pada urutan 150 dari 172 negara. Tax burden Indonesia hanya 9,47 persen, bandingkan dengan Denmark yang tax burden-nya mencapai 46 persen dengan tarif PPh tertingginya mencapai 56 persen.

Tax burden adalah jumlah semua beban pajak atau dampak pajak terhadap total penghasilan yang diperoleh WP dan dianggap dapat mengurangi kuantitas kekayaan WP.

Cara yang umum untuk mengukur tax burden adalah dengan menggunakan persentase pajak terhadap pendapatan. Misalnya, jika pendapatan tahunan Rp 50 juta dan harus membayar pajak Rp 5 juta, beban pajak mereka adalah 10 persen dari pendapatan mereka.

Tax burden yang tinggi inheren dengan kesejahteraan. Legatum Institute mencatat bahwa daftar tujuh negara dengan indeks kemakmuran tertinggi di dunia dihuni oleh negara dengan tax burden tinggi, di antaranya Denmark, Swedia, dan Norwegia. Padahal, mereka bukanlah negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) bernilai tambah sumber daya alam tinggi seperti negara Timur Tengah, apalagi Indonesia.

Bagaimana jika tarif PPh yang lebih tinggi diterapkan di Indonesia? Tentu masih belum lekang di ingatan, berapa banyak UHNWI yang terseret dalam kasus Panama Papers hingga Pandora Papers? Tidak hanya menyeret UHNWI, kasus ini juga menyeret para pejabat publik kita yang kekayaannya sudah bisa dikategorikan sebagai UHNWI.

Sebagai catatan, kasus ini terjadi tahun 2016, jauh sebelum Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disahkan. Saat itu tarif tertinggi PPh masih 30 persen.

 

Penghindaran pajak ”crazy rich”

Dari kasus Panama Papers dan Pandora Papers dapat disimpulkan bahwa masih banyak UHNWI, bahkan pejabat negara, yang ogah membayar pajak.

Wajarlah jika ketimpangan begitu terasa di Indonesia. Disparitas distribusi pendapatan yang tinggi kian hari kian terlihat nyata. Laporan Deutsche Welle menempatkan Indonesia di urutan keempat negara dengan indeks ketimpangan tertinggi di dunia. Menurut mereka, setengah aset di Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen orang terkaya dengan kesenjangan mencapai 49 persen.

Padahal, pajak ini menjadi instrumen penting untuk mencapai keadilan sosial. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif semacam penerapan pajak yang lebih tinggi kepada kalangan UHNWI.

Pajak yang dipungut wajib dialokasikan untuk keperluan pembiayaan program-program sosial, layanan kesehatan, pemerataan pendidikan, perlindungan sosial, atau untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang inheren dengan tujuan menciptakan pemerataan dan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Semuanya perlu dilakukan untuk memastikan setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses kehidupan yang layak tanpa pengecualian. Ketika para UHNWI dikenai tarif pajak yang lebih tinggi, kekayaan mereka dapat dialihkan dan didistribusikan kembali pada golongan masyarakat pra-sejahtera.

Namun, kebijakan ini bukan tanpa celah. Pajak yang tinggi, terutama jika diterapkan pada golongan UHNWI, dapat menghambat laju investasi dan perekonomian. Sudah jadi rahasia umum jika banyak perusahaan besar dimiliki oleh para crazy rich. Mayoritas saham di sektor publik juga dimiliki crazy rich. Namun, bukankah meniadakan kesenjangan dan mewujudkan ekonomi berkeadilan merupakan tanggung jawab kolaboratif antara pemerintah dan individu?

Dalam sistem pajak yang adil, tarif pajak biasanya meningkat seiring dengan tingkat pendapatan atau kekayaan individu. Jika tarif pajak untuk orang kaya masih ringan, bahkan jika mereka memiliki akses yang lebih besar ke skema penghindaran pajak yang legal, ini bisa memperburuk ketimpangan sosial.

Ketika orang kaya dikenai pajak yang lebih rendah dari yang seharusnya, mereka memiliki lebih banyak sumber daya untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan mereka. Sementara golongan miskin dan menengah harus menanggung akibat dari pajak yang tinggi dan mereka pastilah golongan yang tak memiliki sumber daya untuk melakukan penghindaran pajak secara legal.

Penting bagi pemerintah untuk menciptakan instrumen kebijakan yang berorientasi pada keadilan dan keseimbangan. Mengimplementasikan kebijakan pajak yang bijaksana dan proporsional akan membantu meminimalkan ketimpangan sosial. Dengan komitmen membayar pajak secara proporsional, semua orang pasti bisa mendapatkan akses kehidupan yang layak tanpa pengecualian, apalagi memandang status sosial.

Wahai para crazy rich, bantulah utopia mereka menjadi nyata!

 

Artikel ini telah tayang di harian kompas dengan judul “Pajak ”Crazy Rich”: Saatnya Berkontribusi secara Proporsional” pada 7 Juni 2023, dengan tautan berikut:
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/16/pajak-crazy-rich-saatnya-berkontribusi-secara-proporsional
Tags: crazy richKemenkeuMenkeuPajak Pertambahan NilaiPPhPPNPrianto Budi Saptono
Share62Tweet39Send
Previous Post

Aspek Perpajakan Cashback

Next Post

Sosialisasikan Pajak Natura

Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Related Posts

Tax Buoyancy
Liputan Media

Pelemahan Daya Respons Penerimaan Pajak

19 Februari 2025
Image by freepik
Liputan Media

Skandal eFishery, Cermin Buram Tata Kelola Perusahaan

17 Februari 2025
Tata kelola Perusahaan
Liputan Media

Revisi Undang-Undang BUMN: Langkah Maju atau Tantangan Baru?

7 Februari 2025
PPN
Liputan Media

Menyoal Keberpihakan dalam Kebijakan Pajak

5 Februari 2025
Cukai MBDK
Liputan Media

Merancang Cukai Minuman Berpemanis yang Terintegrasi

4 Februari 2025
Foto oleh yusuf habibi
Liputan Media

Dilema Pajak Kelas Menengah, PTKP Turun atau PPN Naik jadi 12%?

23 Desember 2024
Next Post

Sosialisasikan Pajak Natura

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.