Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
    • ENGLISH
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
    • ENGLISH
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Perlukah Membentuk Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN)?

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
11 Juni 2024
in Analisis, Artikel
Reading Time: 4 mins read
131 10
A A
0
Perlukah BPN atau BOPN
161
SHARES
2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Pada 22 April 2024 Putusan Mahkamah Konstitusi telah resmi melegitimasi kemenangan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pilpres 2024. Salah satu janji yang dikemukakan oleh mereka adalah memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN) yang bersifat otonom. Pembentukan BOPN juga masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah untuk tahun 2025.

Salah satu tujuan dibentuknya BOPN adalah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta untuk mencapai target peningkatan tax ratio sebesar 10-12% pada 2025. Adapun tugas utama BOPN yaitu sebagai state revenue collection yang secara tugas masih terkait dengan Kementerian Keuangan, namun secara struktur langsung di bawah presiden.

Wacana pemisahan DJP dari Kemenkeu melalui pembentukan Badan Penerimaan (BPN) Negara telah muncul sejak Oktober 2014, namun urung terlaksana karena pembentukannya membutuhkan perubahan terhadap beberapa undang-undang.

Pada 2016 narasi pemisahan DJP dari Kemenkeu kembali munyeruak. Melalui Naskah Akademik RUU KUP 2016, pemerintah ingin memisahkan DJP dengan Kemnkeu melalui pembentukan BPN yang bersifat semi-autonomous body. Secara undang-undang kehadiran BPN dimungkinkan karena telah sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 17 UUD 1945.

Problematika Pembentukan BOPN

Dalam jurnal “Impact of Semi-Autonomous Revenue Authority on Tax Revenue and Bouyancy: Evidence from Pakistan,” terbitan Jorurnal of Finance & Economics Research, mencatat bahwa pembentukan Federal Board of Revenue (FBR) yang merupakan badan penerimaan pajak otomon di Pakistan, kehadirannya justru tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan tax ratio. Penyebabnya adalah karena kurangnya pendekatan manajemen yang efisien, sistem tata kelola yang lemah, keterlibatan politik yang terlalu besar, dan yang paling penting adalah kasus korupsi. Untuk itu, jika pembentukan BOPN diyakini dapat meningkatkan tax ratio dalam waktu dekat, faktanya belum tentu demikian.

Kompleksitas persoalan juga terjadi di ranah administrasi. Jika pada praktiknya pembentukan BOPN yang secara tugas dan fungsi tidak berbeda dengan DJP, maka hanya akan menimbulkan pembengkakan biaya dan cenderung membuang-buang waktu. Ada sekitar 40.000 lebih pegawai DJP DJBC yang harus dikonsolidasikan ke BOPN, tentunya hal tersebut berakibat pada besarnya ongkos dan waktu yang dibutuhkan. UU perpajakan juga harus diubah kembali setelah kali terakhir direvisi di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpapajakan. Undang-Undang Keuangan Negara pun juga harus diamandemen.

Selanjutnya, jika BOPN difungsikan secara otonom tanpa pembatasan kewenangan yang jelas, maka BOPN akan cenderung agresif dalam perannya menjalankan kewenangan untuk mengumpulkan penerimaan negara. Sebagai contoh di Amerika Serikat (AS), Internal Revenue Service (IRS) bertindak agresif dalam mengumpulkan pajak. Melalui Internal Revenue Code Section 7602, IRS sering menggunakan kode tersebut sebagai prosedur dalam memperoleh data/informasi wajib pajak dalam bentuk apapun dari bank.

Jika agresifitas IRS ditiru, dalam waktu dekat akan memunculkan kekhawatiran bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Kendati demikian, di satu sisi banyak yang menganggap Internal Revenue Code Section 7602 sebagai kebijakan yang agresif, namun di sisi lain kebijakan ini rupanya mampu menaikan tax compliance wajib pajak AS, serta mampu meminimalisasi praktik tax evasion.

Tanpa adanya pengawasan yang ketat, pembentukan lembaga baru dengan kewenangan sebesar BOPN juga rentan menjadi ladang korupsi baru. Dalam buku Internal Revenue Service (IRS) Historical Study: IRS Historical Fact Book: A Chronology 1646-1992, tercatat pada tahun 1952 didapati bahwa mayoritas karyawan IRS tersandung kasus korupsi dan penghindaran pajak serta penyuapan yang mengakibatkan kerugian besar bagi AS. Akibatnya Henry S Truman (presiden AS saat itu) melakukan reorganisasi besar-besaran serta melakukan perombakan sistem pemungutan pajak oleh IRS, seperti mendesentralisasikan banyak fungsi pemungutan pajak ke kantor distrik yang menggantikan fungsi kantor penagihan.

Pekerjaan Rumah

Terdapat beberapa pekerjaan rumah yang penting untuk segera dituntaskan, tiga diantaranya yang paling krusial adalah rendahnya tax ratio, rendahnya tax awareness dan tax compliance, serta masih sengkarutnya birokrasi perpajakan Indonesia.

Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022 (25 Juli 2022), tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik pada 2022. Capaian tax ratio Indonesia pada 2023 hanya sebesar 10,21%. Sebagai negara dengan potensi pajak domestic bruto yang besar, rendahnya tax ratio tentu menjadi pekerjaan rumah yang kolosal dan berkepanjangan.

Berbagai cara telah dilakukan, dari menyesuaikan kebijakan, hingga mereformasi undang-undang perpajakan, namun tidak membawa dampak signifikan pada tax ratio. Di tengah kebuntuan upaya menaikan tax ratio, isu pembentukan Badan Penerimaan Negara (BOPN) yang terpisah dari Kemenkeu kembali menyeruak dan dianggap sebagai upaya yang patut dicoba.

Selajutnya, bukti rendahnya tax awareness masyarakat ialah terselenggaranya tax amnesty hingga dua kali, serta masifnya keikutsertaan masyarakat golongan ekonomi atas. Menteri Keuangan menyatakan wajib pajak dengan harta Rp1 miliyar hingga Rp100 miliyar menjadi mayoritas peserta yang mengikuti tax amnesty. Tingkat kepatuhan pajak juga masih rendah, dibuktikan dengan data wajib pajak yang melapor SPT pada 2022 hanya mencapai 83,2%.

Keterbatasan ruang gerak DJP yang hanya memiliki kewenangan membuat peraturan perpajakan sebatas aturan pelaksanaan, menjadi pemantik dari sengkarutnya birokrasi perpajakan. Sebagai contoh, aturan dan pelaksanaan terkait subjek, objek, dan tarif, harus dilakukan bersama-sama dengan Badan Kebijakan Fiskal dengan pihak lainnya. Artinya, setiap inisiatif pembuatan dan/atau perubahan aturan perpajakan akan memerlukan proses birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama sebelum aturan tersebut dilaksanakan, sementara itu, dunia usaha bergerak sangat cepat dan dinamis.

Kompleksitas persoalan menuntut pemerintah yang baru untuk menemukan formulasi yang tepat dalam meningkatkan penerimaan negara. Terlebih nasib fiskal sebuah negara sangat bergantung pada efisiensi dan efektivitas pemungutan hingga pengelolaan pendapatan negara, serta pada seberapa patuhnya warga negara dalam membayar pajak.

Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan jika kedepannya BOPN jadi dibentuk, diantaranya BOPN harus berperan aktif terhadap peningkatan literasi pajak di kalangan Masyarakat, dengan harapan dapat meningkatkan tax awareness. Setelah itu pembentukan BOPN sebaiknya diiringi dengan reformasi kebijakan perpajakan yang berorientasi pada simplisitas aturan perpajakan. Simplisitas ini diharapkan dapat menurunkan tingginya biaya kepatuhan pajak dan meningkatkan tax compliance wajib pajak.

Selanjutnya pada awal pembentukannya, regulator harus meyakinkan publik mengenai pentingnya pembentukan BOPN sebagai suatu terobosan baru dalam meningkatkan tax ratio. regulator juga harus mencari dukungan dari berbagai pihak terutama dukungan dari pelaku bisnis, tak terkecuali wajib pajak, agar kehadiran BOPN dianggap krusial bagi penerimaan negara.

Walaupun tidak ada garansi bahwa kehadiran BOPN dapat menaikkan tax ratio Indonesia dalam waktu dekat, namun pembentukan BOPN layak menjadi alternatif atau solusi yang dapat diharapkan turut mendongkrak tax ratio, menaikkan tax awareness, serta meningkatkan penerimaan pajak.

Tags: BOPNDJPGibranKemenkeuPrabowo
Share64Tweet40Send
Previous Post

Bagaimana Pengenaan PPN atas Jasa Freight Forwarding?

Next Post

Indonesia Harus Merdeka Dari Middle-Income Trap

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post
Indonesia keluar middle income trap

Indonesia Harus Merdeka Dari Middle-Income Trap

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.