Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Rabu, 12 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Perlukah Mengubah Design Pajak UMKM?

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
11 November 2024
in Analisis, Artikel
Reading Time: 4 mins read
127 7
A A
0
#image_title

#image_title

153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Belum lama ini kasus sengketa pajak antara wajib pajak dan petugas pajak viral di media sosial. Permasalahan ini juga tak luput jadi sorotan berbagai media mainstream di Indonesia. Adalah Pramono, seorang pengepul susu dari peternak sapi perah asal Kecamatan Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah. Pemilik Usaha Dagang (UD) Pramono itu, terpaksa harus menutup usahanya lantaran sudah tak mampu membayar tagihan pajak dari negara.

Pramono diwajibkan membayar pajak senilai Rp671 juta untuk tahun 2018. Nasib pahit menimpanya ketika rekening usahanya diblokir oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Boyolali dengan alasan belum memenuhi kewajiban pembayaran pajak 2018.

Berawal pada 2021, ketika Kantor Pajak memeriksa pajak usaha Pramono periode 2018. Saat itu tagihan pajaknya menyentuh Rp2 miliar, kemudian diturunkan menjadi Rp671 juta. Meski demikian, Pramono merasa kesulitan untuk membayarnya mengingat masih besarnya besaran pajak yang harus ia bayarkan.

Pramono kemudian menegosiasikan kembali besaran pajak yang wajib ia bayarkan di tahun 2018, dan angka final besaran pajaknya menjadi 200 juta. Meski telah membayar senilai Rp200 juta pada 2021, ternyata Pramono diminta lagi untuk membayar Rp110 juta. Pramono memutuskan tidak membayar tagihan tersebut karena merasa sudah memenuhi kewajiban bayarnya.

Dikutip dari berbagai sumber, selama bertahun-tahun, Pramono bekerja sebagai pengepul susu. Dari usaha itu ia telah membantu menghidupi sebanyak 1.300 peternak sapi perah yang menjadi mitranya. Selama itu pula, Pramono tak pernah membebankan kepada peternak jika susunya disetorkan ditolak pabrik. Bahkan, ia turut membantu memberikan kredit tanpa bunga kepada petani binaannya.

Design Kebijakan Pajak Tidak Ramah UMKM

Pramono bukan orang pertama yang terkena dampak dari serampangannya sistem kebijakan perpajakan terutama untuk pajak UMKM. Hanya saja selama ini persoalan sengketa yang terjadi cenderung tidak terekpos ke ranah publik dan jarang mendapat perhatian dari masyarakat.

Selama ini UMKM harus membayar pajak dengan skema PPh Final UMKM sebesar 0,5%. Aturan spesifik mengenai pajak UMKM dibahas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Perlu dicatat tidak semua pelaku UMKM akan dikenakan pajak, melainkan hanya UMKM orang pribadi dan badan berbentuk koperasi, firma, persekutuan komanditer, maupun Perseroan terbatas. Adapun kriteria batasan omzetnya adalah di bawah Rp4,8 miliar pertahun. Kendati demikian sifat pajak UMKM yang cenderung menggunakan pendekatan Presumptive Tax cenderung cukup merugikan bagi sebagian UMKM.

Presumptive Tax adalah pendekatan perpajakan yang digunakan pemerintah untuk memperkirakan/mengasumsikan (menyimpulkan atau “presume”) potensi pendapatan atau kewajiban pajak dari wajib pajak, terutama ketika pencatatan dan laporan keuangan yang akurat sulit diperoleh. Sistem ini umumnya diterapkan pada kelompok usaha kecil atau informal yang belum memiliki sistem pembukuan yang memadai atau konsisten. Dalam presumptive tax, pemerintah menggunakan indikator tertentu, seperti omzet, luas usaha, jumlah karyawan, atau nilai aset, untuk memperkirakan kewajiban pajak.

Mengapa Presumptive Tax cenderung serampangan dan menjadi destruktif bagi para pelaku UMKM? Karena berbasis asumsi, metode ini tidak memperhitungkan secara akurat kondisi keuangan wajib pajak. Hal tersebut tentu menjadi beban bagi usaha dengan margin keuntungan rendah karena pajak tetap dikenakan meski profit rendah atau tidak ada profit sama sekali.

Sebagai contoh jika seorang pelaku UMKM menjual pulsa 10.000 dengan harga Rp11.000. Profit bersih hanya Rp1000, namun mirisnya yang dikenakan pajak adalah keseluruhan penjualan yaitu Rp11.000. Hal ini tentu tidaklah adil bagi para pelaku UMKM dengan modal besar namun dengan profit yang kecil, meski secara omzet terlihat besar.

Satu sisi Presumptive tax yang terdapat dalam Pajak PPh Final UMKM dapat membantu pemerintah memperluas basis pajak dengan memasukkan kelompok usaha kecil atau informal yang mungkin sulit dicapai dengan sistem perpajakan konvensional. Namun, sisi lain pendekatan pajak UMKM yang cenderung serampangan tentu saja hanya menguntungkan pemerintah dan mengesampingkan multiplier effect yang cenderung distruktif yang dialami oleh pelaku UMKM.

UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari omzetnya, terlepas dari laba bersih atau kondisi finansial usaha. Faktor-faktor seperti ketidak tahuan pelaku UMKM (tidak teredukasi secara literasi perpajakan), atau faktor merugikan lainnya seperti kondisi UMKM yang tiba-tiba pailit tidak menjadi pertimbangan. Asumsi atau “presumsi” yang digunakan adalah bahwa ketika omzet sudah cukup untuk menunjukkan potensi kontribusi pajak usaha, tanpa harus memeriksa profitabilitas secara mendalam, pelaku UMKM akan dikenakan pajak.

Angka 0,5% seringkali mengecoh dan dientengkan oleh sebagian dari mereka yang hanya memungut pajak atau sebagian mereka yang hanya menjadi penonton dan tidak terlibat langsung dalam dunia UMKM.

Perlu dicatat Kebijakan PPh Final UMKM ini tidak membedakan antara sektor-sektor yang memiliki profitabilitas tinggi dan rendah. Misalnya, sektor seperti pengepulan susu yang dimiliki oleh Pramono atau perdagangan bahan mentah biasanya memiliki margin keuntungan yang lebih kecil dibandingkan sektor jasa atau perdagangan produk berharga tinggi. Tentunya pajak 0,5% dari omzet bisa menjadi beban yang besar ketika margin keuntungan UMKM sangat rendah. Secara konsep keadilan, maka penerapan pajak PPh Final cacat dan jauh dari nilai keadilan.

Menyusun Kebijakan Pajak Ramah UMKM

Dalam kondisi ekonomi yang sulit atau ketika bisnis mengalami penurunan, sayangnya kewajiban membayar pajak berdasarkan omzet seperti PPh Final UMKM 0,5% tetap ada. Seperti kasus Pramono, meski omzetnya tinggi, tidak berarti usahanya memiliki kemampuan finansial yang kuat. Pajak omzet tidak fleksibel terhadap situasi aktual bisnis, sehingga ketika laba turun, pelaku UMKM tetap dikenakan beban pajak yang sama.

Penerapan pajak dengan design kebijakan seperti Pajak PPh Final UMKM 0,5% nyatanya menekan profitabilitas UMKM, membuat mereka sulit untuk berkompetisi, khususnya bagi pelaku UMKM yang bergantung pada margin tipis. Keberlanjutan usaha kecil ini bisa terganggu, dan dalam kasus ekstrim seperti Pramono, mereka bisa memilih untuk menutup usahanya. Jika banyak UMKM terdampak, hal ini dapat mengurangi kontribusi mereka terhadap PDB dan menghambat penciptaan lapangan kerja.

Kontribusi UMKM terhadap perekonomian tidak perlu diragukan lagi. Data dari Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu mencatat kontribusi UMKM terhdap PDB mencapai 61,9% dan bahkan menyerap 97% tenaga kerja. Sudah sepatutnya mereka mendapat perlakuan yang lebih baik dari pemerintah dengan kebijkan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan mereka.

Jika pemerintah sudi untuk lebig effort sedikit saja pemerintah bisa mengganti skema kebijakan pajak PPh Final UMKM 0,5%, menjadi pajak UMKM yang bersifat lebih progresif. Pajak progresif dapat diterapkan berdasarkan omzet atau profit, di mana UMKM dengan omzet atau laba yang lebih tinggi dikenakan tarif pajak yang sedikit lebih besar. Ini akan menyesuaikan pajak dengan kapasitas ekonomi masing-masing usaha, sekaligus menjaga keberlangsungan UMKM yang lebih kecil atau memiliki profit rendah.

Tags: DJPKemenkeuKPPPPh FinalUMKM
Share61Tweet38Send
Previous Post

PMK 81/2024 Beri Kepastian Hukum Pelaksanaan Coretax System

Next Post

Pokok Aturan Baru Bea Meterai dalam PMK Nomor 78 Tahun 2024

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post
Aturan baru bea meterai dalam pmk nomor 78 tahun 2024

Pokok Aturan Baru Bea Meterai dalam PMK Nomor 78 Tahun 2024

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.