Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Rabu, 12 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

PPh Badan Turun, Apakah Tax Ratio Akan Naik? 

Muhammad Akbar AditamaLambang Wiji ImantorobyMuhammad Akbar AditamaandLambang Wiji Imantoro
9 Oktober 2024
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
133 1
A A
0
153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan bahwa presiden terpilih, Prabowo Subianto, tidak akan menaikkan tarif pajak. Sebaliknya, fokus pemerintah baru adalah memastikan seluruh wajib pajak memenuhi kewajiban mereka, yang diharapkan mampu berbanding lurus dengan peningkatan rasio pajak Indonesia menjadi 18 hingga 23 persen, setara dengan Kamboja dan Vietnam. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menurunkan tarif PPh Badan.

Tarif pajak PPh Badan sendiri diusulkan turun dari 22 persen menjadi 20 persen, mendekati tarif di Singapura dan Hongkong. Harapannya, kebijakan ini mampu mendorong iklim usaha yang lebih kompetitif dan mendorong pengusaha untuk lebih patuh terhadap kewajiban perpajakan mereka. Rencana menurunkan PPh Badan juga diharapkan mampu menutup kebocoran kekayaan yang lari ke luar negeri agar berbanding lurus dengan meningkatnya penerimaan negara.

PPh Badan Turun, Apakah Kepatuhan Naik?

Kebijakan fiskal Prabowo yang berorientasi pada peningkatan kepatuhan secara sukarela (voluntary compliance) menuai ragam perbincangan. Ada yang berpendapat kebijakan ini ideal untuk mendorong kepatuhan secara sukarela, namun tidak sedikit juga yang mengkritiknya karena dianggap terlalu spekulatif.

Voluntary compliance merupakan sikap di mana wajib pajak dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan mematuhi kewajiban perpajakan mereka. Faktor-faktor yang mendorong kepatuhan sukarela biasanya terkait dengan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan dan pemerintah, persepsi tentang manfaat pajak yang dibayarkan, serta adanya tarif pajak yang dianggap adil dan proporsional.

Dalam konteks ini, penurunan tarif PPh Badan dari 22% menjadi 20%, seperti yang diusulkan Prabowo, bertujuan untuk menciptakan insentif bagi wajib pajak untuk lebih patuh tanpa merasa terbebani. Dengan tarif yang lebih rendah, wajib pajak cenderung merasa lebih nyaman dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah pelaporan dan pembayaran pajak secara sukarela.

Sebaliknya, kepatuhan secara terpaksa (enforced compliance) terjadi ketika wajib pajak mematuhi kewajiban perpajakan karena adanya ancaman sanksi atau pengawasan yang ketat dari pihak berwenang. Dalam hal ini, pemerintah mengandalkan mekanisme penegakan hukum seperti audit, pemeriksaan, atau penalti untuk memaksa wajib pajak mematuhi aturan perpajakan.

Meskipun efektif dalam jangka pendek, kepatuhan terpaksa cenderung menciptakan suasana yang kurang kondusif bagi hubungan jangka panjang antara pemerintah dan wajib pajak. Di Indonesia, pengawasan terhadap kebocoran kekayaan beserta pengusaha nakal,, merupakan salah satu upaya penegakan hukum yang bertujuan menutup celah-celah pelanggaran pajak. Namun, keberhasilan jangka panjang dalam meningkatkan rasio pajak tetap bergantung pada peningkatan kepatuhan sukarela dibandingkan dengan hanya mengandalkan paksaan melalui instrumen hukum.

Satu sisi penanganan melalui kepatuhan sukarela dengan cara menurunkan tarif PPh Badan menjadi 20 persen memang berpotensi meningkatkan kepatuhan sukarela. Dengan tarif yang lebih rendah, wajib pajak mungkin merasa lebih ringan dalam memenuhi kewajiban pajak mereka, yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat pelaporan dan pembayaran pajak secara sukarela. Kondisi ini juga menciptakan suasana kepercayaan antara pemerintah dan wajib pajak. Selain itu Ketika lebih banyak wajib pajak yang patuh dan melaporkan kewajiban pajaknya dengan benar, penerimaan pajak pun akan meningkat.

Namun, di sisi lain peningkatan kepatuhan sukarela ini sangat mungkin berdampak langsung pada penerimaan pajak negara. Dengan tarif yang lebih rendah, ada potensi peningkatan aktivitas ekonomi yang mendorong lebih banyak transaksi kena pajak.

Penerimaan Pajak dan PDB

Peningkatan penerimaan pajak dapat terjadi melalui berbagai upaya, termasuk penurunan tarif pajak yang diiringi dengan peningkatan kepatuhan sukarela, penutupan celah-celah penghindaran pajak, serta penguatan pengawasan terhadap wajib pajak. Secara konsep, idealnya ketika penerimaan pajak meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB, rasio pajak akan mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mampu memaksimalkan potensi pajak dari kegiatan ekonomi yang ada.

Sebaliknya, jika pertumbuhan PDB lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan penerimaan pajak, rasio pajak akan cenderung menurun. Meskipun ekonomi tumbuh, pemerintah tidak dapat sepenuhnya menangkap potensi perpajakan yang ada. Oleh karena itu, strategi peningkatan rasio pajak tidak hanya bergantung pada kebijakan fiskal seperti penurunan tarif, tetapi juga pada efektivitas pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan basis pajak.

Usulan untuk menurunkan tarif PPh Badan dari 22% menjadi 20% dapat berjalan efektif jika dibarengi dengan peningkatan penerimaan pajak secara keseluruhan. Peningkatan ini bisa dicapai dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan dari para wajib pajak. Apabila pertumbuhan penerimaan pajak lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB, rasio pajak akan meningkat, yang menjadi tanda positif bagi kestabilan fiskal negara.

Dengan demikian, penurunan tarif PPh Badan dari 22% menjadi 20% diharapkan mampu mendorong peningkatan rasio pajak, namun hal ini hanya akan tercapai jika beberapa faktor penting terpenuhi. Perlu diketahui, rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB), yang menggambarkan seberapa besar kontribusi sektor perpajakan terhadap ekonomi nasional. Untuk meningkatkan rasio pajak, dua komponen utama yang harus diperhatikan adalah penerimaan pajak dan PDB itu sendiri. Untuk itu diperlukan beberapa upaya dalam meningkatkan penerimaan pajak dan PDB.

Pertama, diperlukan adanya peningkatan kepatuhan sukarela dari para wajib pajak. Dengan tarif pajak yang lebih rendah, wajib pajak mungkin merasa lebih terbantu dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yang pada gilirannya akan meningkatkan jumlah pelaporan pajak secara sukarela. Kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem perpajakan juga perlu diperkuat agar wajib pajak merasa bahwa beban pajak yang mereka tanggung sesuai dan adil. Selain itu, langkah-langkah seperti penutupan celah penghindaran pajak dan pengawasan terhadap pengusaha yang tidak patuh juga berperan penting dalam mendorong tingkat kepatuhan secara keseluruhan.

Kedua, peningkatan penerimaan pajak merupakan syarat utama untuk mengoptimalkan rasio pajak. Dengan tarif pajak yang lebih rendah, pemerintah harus memastikan bahwa basis pajak diperluas, dan wajib pajak membayar pajak lebih tinggi dari sebelumnya. Jika penerimaan pajak dapat tumbuh lebih cepat dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka rasio pajak akan meningkat. Hal ini akan menciptakan dampak positif bagi keuangan negara, karena menunjukkan kemampuan pemerintah dalam memaksimalkan potensi pajak dari aktivitas ekonomi.

Terakhir, pertumbuhan PDB harus lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penerimaan pajak untuk menghasilkan rasio pajak yang lebih tinggi. Jika pertumbuhan PDB lebih cepat dari peningkatan penerimaan pajak, rasio pajak justru akan menurun, meskipun ekonomi secara keseluruhan mengalami perkembangan.

 

Tags: PDBPPh BadanPrabowoRasio Pajak
Share61Tweet38Send
Previous Post

Peran Perpajakan dalam Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi

Next Post

Peran GCG dalam Menanggulangi Risiko Korupsi

Muhammad Akbar Aditama

Muhammad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post
Ilustrasi GCG

Peran GCG dalam Menanggulangi Risiko Korupsi

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.