Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Sejarah Perang karena Aturan Pajak: Perang Kamang 1908

Pratama IndomitrabyPratama Indomitra
14 Juli 2024
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
127 10
A A
0
Perang Blasting di Kamang 1908
156
SHARES
2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Anak berkata masuk sekarang
Janganlah ayah pergi berperang
Badan kok mati nyawa berpulang
Di sini kampung di labuah gadang
– Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908 karya Haji Ahmad

Diberlakukannya Blasting (istilah Belanda untuk pungutan pajak) di Sumatra Barat pada 1908 resmi menggantikan aturan sebelumnya, yaitu Koffiestelsel yang telah berjalan sejak 1847. Sebenarnya, jumlah pungutan blasting secara matematis lebih kecil dibanding koffiestelsel. Alih-alih membuat masyarakat gembira, aturan baru itu justru memicu perlawanan.

Koffiestelsel: Pungutan Paksa Cita Rasa Belanda

Secara sederhana, koffiestelsel berarti sistem tanam paksa kopi. Sistem tersebut memaksa masyarakat untuk menanam kopi supaya dapat dibeli oleh pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sudah ditetapkan. Atas pembelian tersebut, masyarakat mendapat garam atau kebutuhan hidup lainnya sebagai pengganti uang, meski dengan nilai yang tidak sebanding.

Sejak awal abad 17, sebetulnya pulau Jawa telah menjadi pemasok kopi yang penting bagi Belanda. Tidak heran jika pemerintah kolonial Belanda lalu menerapkan aturan tanam paksa kopi di luar Jawa, seperti di Sumatra Barat.

John S. Ambler, profesor emeritus bidang politik dari Rice University, Texas membagi sejarah koffiestelsel di Sumatra Barat menjadi 3 babak:

  • 1821-1847: Penguatan peran politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda
  • 1847-1908: Penerapan koffiestelsel
  • 1908: Pencabutan koffiestelsel dan penerapan blasting – periode “Pasar Komoditas yang Berkembang Pesat”.

Sebagai gambaran, pemerintah kolonial Belanda menetapkan harga kopi per pond (1 pond = 0,45 kg) adalah senilai 0,08 gulden (mata uang Belanda saat itu). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harga setiap 1 kg kopi berkisar 0,16 gulden. Dr. Taufik Abdullah dan tim penyusun buku “Sejarah Sosial di Daerah Sumatra Barat” menyebut bahwa harga sebenarnya dari kopi tersebut dapat mencapai 0,5 gulden per kilogramnya. Dengan demikian keuntungan yang didapat pemerintah kolonial Belanda atas 1 kg kopi dapat mencapai 0,34 gulden.

Demi menjalankan koffiestelsel tersebut, pemerintah kolonial Belanda secara sepihak membatalkan “Plakaat Panjang”, sebuah dokumen resmi yang menyatakan bahwa tidak akan ada intervensi dan dikte pasar atas hasil tani atau kebun milik masyarakat. Selain itu, masyarakat juga diwajibkan untuk memanfaatkan lahan-lahan marginal, alias lahan kering dengan kandungan hara yang terbatas.

Sistem koffiestelsel mungkin tidak bisa disamakan dengan sistem pajak. Bahkan masyarakat Sumatra Barat saat itu menganggap koffiestelsel sebagai transkasi jual beli, meski seluruh sistem tersebut sepenuhnya ditetapkan dan dikontrol pemerintah kolonial Belanda.

Blasting: Saat Aturan Pajak Salah Sasaran

Maret, 1908 di Bukittinggi. Bulan itu, dengan percaya diri Louis Constant Westenenk yang tengah menjabat asisten residen untuk wilayah Agam, Sumatra Barat, mengadakan pertemuan untuk mengumumkan aturan blasting.

“Sekarang ini rakyat telah senang karena koffiestelsel akan dicabut, tapi sebagai gantinya akan dipungut bayaran blasting”.

– “Proklamasi blasting” oleh Louis Constant Westenenk

Dengan dicabutnya koffiestelsel, maka masyarakat kembali dibebaskan untuk menanam komoditas apa pun untuk dijual ke siapa pun. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Belanda mengincar pungutan tunai untuk jadi sumber pendapatan mereka. Adapun pungutan atau blasting tersebut hanya sebesar 1,2 gulden per kepala per tahun.

Secara matematis, sebetulnya nilai pungutan kepada masyarakat atas blasting jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat penerapan koffiestelsel. Pada masa koffiestelsel, jika satu orang dapat menghasilkan 30 kg kopi sekali panen, maka secara tidak langsung ia telah terkena pungutan senilai 10,2 gulden (30 kg x 0,34 gulden), yakni hampir 10 kali lipat lebih tinggi dari ketentuan blasting. Akan tetapi setelah Westenenk mengumumkan aturan tersebut, masyarakat justru mengajukan penolakan dan bahkan berujung pada pecah perang. Mengapa bisa demikian?

Dalam kehidupan sosial masyarakat Sumatra Barat saat itu, uang tunai bukanlah sesuatu yang mudah didapat dan dicari. Mereka terbiasa bertani hanya untuk menghidupi keluarga sendiri sampai tingkat lingkungan kecil. Soal berdagang di pasar-pasar, mereka masih biasa menggunakan sistem tukar kebutuhan atau barter.

Selain peran uang yang kecil dalam kehidupan sosial, masyarakat Sumatra Barat juga tidak habis pikir atas logika penerapan blasting itu. Mereka mempertanyakan mengapa mereka harus terkena pungutan atas tanah mereka sendiri, seolah mereka sedang menyewa tanah milik pemerintah kolonial Belanda. Datuk Radjo Penghulu, salah seorang tokoh masyarakat dengan tegas menentang Westenenk pada forum Maret 1908 tersebut.

“Tuan, blasting tidak mungkin. Kami telah tuan tipu. Tuan yang harus membayar kepada kami. Kenapa tuan minta uang lagi kepada kami. Tuan kan pandai membuat uang. Sesenpun tidak akan kami berikan. Musuh tidak dicari, kalau datang tidak dielakkan. Esa hilang dua terbilang.”

– Datuk Radjo Penghulu, dalam Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat

Kecamuk Perang karena Pajak

Pertemuan di Bukittinggi, Maret 1908 itu dihadiri oleh wakil-wakil masyarakat dari berbagai daerah di Sumatra Barat. Umumnya, para wakil masyarakat tersebut menolak aturan blasting yang disampaikan Westenenk. Salah satu yang paling keras menolak adalah wakil dari masyarakat daerah Kamang.

Setelah pertemuan tersebut, protes dari masyarakat Kamang terus memanas. Salah satu momentum penting terjadi pada 12 Juni 1908. Masyarakat Kamang di bawah pimpinan Datuk Machudum beserta dua kawannya melakukan demonstrasi. Atas aksi tersebut, Westenenk menerima perwakilan dari demonstran sambil menyiapkan jebakan. Sementara rakyat diminta kembali ke kampungnya, Datuk Machudum beserta dua kawannya diam-diam dijebloskan ke penjara.

Peristiwa tersebut membuat amarah masyarakat Kamang mencapai puncak. Di saat yang hampir bersamaan, Haji Abdul Manan kembali dari tanah suci. Haji Abdul Manan adalah seorang ulama yang menjadi penggerak utama Perang Kamang pada 1908. Cuplikan atas perang tersebut terekam dalam Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908 karya Haji Ahmad, yang potongan syairnya terdapat pada pembuka tulisan ini.


Penulis: Umar Hanif Al Faruqy (Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies)

Referensi:

Abdullah, Taufik, Dr. (ed.). (1983/1984). Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat. Proyek IDSN. Jakarta

Ambler, John S. (1988), “Historical Perspectives on Sawah Cultivation and the Political and Economic Context for Irrigation in West Sumatra”, Indonesia, No. 46, pp. 48-52

Thejakartapost.com. 19 Januari 2018. How Coffee Went from The Hands of The Dutch to The World. Diakses 29 Januari 2024, dari https://www.thejakartapost.com/life/2018/01/19/how-coffee-went-from-the-hands-of-the-dutch-to-the-world.html

Wahyuningsih. (1996). Kajian Naskah Pemimpin ke Syurga dan Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908. Proyek PPNB. Jakarta

Share62Tweet39Send
Previous Post

Sejarah Lahirnya Aturan Pajak di Indonesia

Next Post

Alarm Ekonomi RI Menyala, Pakar Pajak-Ekonom Beri Warning

Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post

Alarm Ekonomi RI Menyala, Pakar Pajak-Ekonom Beri Warning

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.