Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Tujuan di Balik Kebijakan KTP Jadi NPWP

Pratama IndomitrabyPratama Indomitra
12 November 2021
in Liputan Media
Reading Time: 4 mins read
127 9
A A
0
156
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Merdeka.com | 12 Oktober 2021

Reporter: Idris Rusadi Putra

Pemerintah bersama DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan ini, pemerintah akan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.

Proses transisi penggunaan NIK sebagai NPWP telah dilakukan sejak UU HPP masih dibahas bersama DPR-RI. Penggabungan dua data tersebut nantinya akan menghasilkan data tunggal dan menjadi sinkron dan tervalidasi sebagai data wajib pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan setiap masyarakat yang memiliki NIK tidak serta merta langsung dikenakan pajak. Sebab ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dalam UU HPP ini telah diatur. Ini sekaligus menegaskan adanya disinformasi terkait adanya anggapan di masyarakat bahwa setiap pemilik KTP meski belum memiliki penghasilan akan dikenakan pajak.

Sri Mulyani menjelaskan setiap objek pajak perorangan memiliki syarat dan ketentuan khusus untuk bisa menjadi Wajib Pajak. Salah satunya pendapatan tetap selama satu tahun. Besaran persentase pajak yang ditarik pemerintah juga dilakukan secara berkeadilan dengan penetapan tingkatan lapisan pendapatan.

“Ini untuk meluruskan seolah-olah ada mahasiswa yang baru lulus, belum bekerja suruh bayar pajak itu tidak benar,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (7/10) lalu.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang mengatakan NIK sebagai pengganti NPWP tidak berarti masyarakat usia 17 tahun ke atas yang memiliki KTP sudah harus membayar pajak.

Sebelum adanya UU HPP, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi diatur menjadi empat lapis yaitu untuk penghasilan sampai Rp50 juta per tahun dikenakan tarif 5 persen dan di atas Rp50 juta sampai Rp250 juta per tahun dikenakan tarif 15 persen.

Kemudian penghasilan di atas Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun dikenakan tarif 25 persen dan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun dikenakan tarif sebesar 30 persen.

Sementara melalui UU HPP, lapisan ini diperlebar yaitu untuk penghasilan Rp1 sampai Rp60 juta per tahun dikenakan tarif 5 persen, di atas Rp60 juta sampai Rp250 juta per tahun dikenakan tarif 15 persen, dan di atas Rp250 juta sampai Rp500 juta dikenakan tarif 25 persen.

Selanjutnya, penghasilan di atas Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun dikenakan tarif sebesar 30 persen dan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dikenakan tarif sebesar 35 persen.

Sebagai contoh, seseorang memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp60 juta dalam setahun dan berdasarkan UU PPh yang saat ini berlaku maka penghasilan orang tersebut dikenai dua lapisan tarif yaitu 5 persen dan 15 persen. Beban pajak yang ditanggung per tahun oleh orang tersebut adalah sebesar Rp4 juta dengan perhitungan 5 persen dikali Rp50 juta sama dengan Rp2,5 juta dan 15 persen dikali Rp10 juta sama dengan Rp1,5 juta.

Dengan UU HPP ini, orang tersebut diuntungkan karena hanya akan masuk ke lapisan satu dengan tarif 5 persen yang artinya beban pajak yang ditanggung sebesar Rp3 juta dengan perhitungan 5 persen dikali Rp60 juta sama dengan Rp3 juta.

Tarif tertinggi untuk orang pribadi dengan UU sebelumnya adalah 30 persen sedangkan melalui UU HPP maka tarif tertinggi ditetapkan sebesar 35 persen untuk Penghasilan Kena Pajak di atas Rp5 miliar per tahun.

Lalu sebenarnya apa tujuan NIK di KTP dijadikan NPWP? Berikut penjelasannya:

Perluas Basis Pajak

Langkah ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah, baik dari sisi administrasi maupun reformasi kebijakan. Penggunaan NIK pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menambah fungsi kartu identitas untuk menguatkan sistem administrasi perpajakan nasional.

Sri Mulyani memaparkan, reformasi pajak melalui RUU HPP juga bakal memperkuat posisi Indonesia dalam kerja sama internasional, dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN) final.

Kebijakan ini juga akan dijadikan untuk memperluas basis pajak, sebagai faktor kunci dalam optimalisasi penerimaan pajak, juga akan dapat diwujudkan melalui pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan.

Lalu untuk penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN, implementasi pajak karbon, dan perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai.

Tingkatkan Penerimaan Negara

Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OFP mengatakan bahwa integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan bertujuan mempermudah Wajib Pajak (WP) orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan demi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.

“NIK juga saat ini digunakan untuk integrasi berbagai data: PBI, DTKS, dan data-data lain yang terus di integrasikan,” kata Dolfie kepada Liputan6.com, pada Senin (11/10).

Dolfie menambahkan, salah satu tujuan NIK menjadi NPWP adalah meningkatkan penerimaan negara melalui WP orang pribadi.

Selain itu, kata Dolfie, dapat diketahui karakteristik WP OP karena di dalam NIK sudah ada data terkait DTKS, PBI, data penerima bansos, dan lain-lain.

“Akan efektif dalam memperluas basis data WP OP,” terangnya.

Kerja Petugas Pajak Jadi Mudah

Direktur Eksekutif Pratama – Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak atau UU HPP akan mempermudah realisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Terutama dengan adanya kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akan terintegrasi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Dalam hal ini, Prianto menganggap NPWP yang tertera di KTP kelak akan mempermudah kantor pelayanan pajak (KPP) dalam melakukan pendataan wajib pajak orang pribadi.

“Yang jelas data matching-nya lebih gampang. Kan kalau kita melihat latar belakang RUU KUP sebelumnya, itu kan kantor pajak tanda kutip ngeluh ada di naskah akademik,” kata dia kepada Liputan6.com, Senin (11/10).

“Kami ini mau cocokin data susah, karena NPWP-nya enggak ada, kalau enggak NIK-nya enggak ada. Kemudian alamatnya ada di luar negeri,” keluh Prianto.

Mudah Pantau wajib Pajak

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie OFP mengatakan, penggunaan NIK sebagai pengganti NPWP ini dinilai akan mempermudah pengawasan yang dilakukan pemerintah. Selain itu membuat administrasi lebih efisien. “Dengan terintegrasinya penggunaan NIK akan mempermudah memantau administrasi wajib pajak Indonesia, khususnya wajib pajak orang pribadi,” kata Dollfie.

Kemudahan ini bisa terealisasi lantaran masyarakat yang memiliki KTP pasti akan terdaftar sebagai wajib pajak orang pribadi. Regulasi ini pun bakal memudahkan kerja Direktorat Jenderal Pajak dalam memungut penerimaan negara. Sebab, tidak semua yang punya KTP mau mendaftarkan diri secara sukarela sebagai wajib pajak.

“Program ini akan mempermudah aktivitas pendataan masyarakat sebagai wajib pajak,” ujar Dollfie. [idr]

Artikel ini telah tayang di laman Merdeka.com dengan link https://www.merdeka.com/uang/tujuan-di-balik-kebijakan-ktp-jadi-npwp.html pada 12 Oktober 2021.

Tags: Kemudahan AdministrasiNIKNPWPPPh OPUU HPP
Share62Tweet39Send
Previous Post

Target PPh 2022 turun, Pengamat Pajak: Kompensasi dampak pandemi di 2020-2021

Next Post

Ada PPKM Darurat, ini proyeksi pengamat soal shortfall pajak tahun ini

Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Related Posts

Tax Buoyancy
Liputan Media

Pelemahan Daya Respons Penerimaan Pajak

19 Februari 2025
Image by freepik
Liputan Media

Skandal eFishery, Cermin Buram Tata Kelola Perusahaan

17 Februari 2025
Tata kelola Perusahaan
Liputan Media

Revisi Undang-Undang BUMN: Langkah Maju atau Tantangan Baru?

7 Februari 2025
PPN
Liputan Media

Menyoal Keberpihakan dalam Kebijakan Pajak

5 Februari 2025
Cukai MBDK
Liputan Media

Merancang Cukai Minuman Berpemanis yang Terintegrasi

4 Februari 2025
Foto oleh yusuf habibi
Liputan Media

Dilema Pajak Kelas Menengah, PTKP Turun atau PPN Naik jadi 12%?

23 Desember 2024
Next Post

Ada PPKM Darurat, ini proyeksi pengamat soal shortfall pajak tahun ini

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.