Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 14 Maret 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Urgensi Pengaturan Kembali Pajak atas Natura dan Kenikmatan

Muhammad Akbar AditamabyMuhammad Akbar Aditama
8 Juli 2024
in Artikel
Reading Time: 3 mins read
133 1
A A
0
153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Pandemi COVID-19 telah meningkatkan ketidakpastian pada hampir seluruh aspek kehidupan, terutama pada kesehatan dan bisnis. Semua lapisan masyarakat harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang disebabkan oleh pandemi, seperti menjaga jarak yang berdampak pada turunnya aktivitas ekonomi. Bisnis dan pemerintah, termasuk regulasi perpajakan, harus bersikap responsif dan adaptif. Hal ini menekankan pentingnya regulasi perpajakan yang harus responsif dalam menghadapi ketidakpastian. Menurut Adiyanta (2020), reformasi kebijakan perpajakan yang berkelanjutan diperlukan untuk menyederhanakan sistem perpajakan dan menciptakan keseimbangan antara pemerintah, masyarakat, dan ekonomi.

Pada akhirnya, ketidakpastian ini mendorong pemerintah Indonesia melakukan reformasi kebijakan perpajakan mendasar dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, mendukung pemulihan ekonomi, mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan pasti, serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) secara sukarela.

UU HPP menandai era baru reformasi perpajakan, salah satunya adalah pengaturan ulang perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan. UU HPP mengkategorikan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima dari WP atau pemerintah sebagai objek pajak penghasilan. Pengaturan ini mengubah pandangan sebagian kalangan, termasuk fiskus pajak dan WP. Sebelum UU HPP, natura dan/atau kenikmatan yang diterima pegawai dianggap sebagai non taxable income, sehingga pengeluaran pemberi kerja untuk natura dan/atau kenikmatan digolongkan sebagai non deductible expense.

Akan tetapi, ada beberapa pengecualian, seperti natura yang dapat dikenakan pajak bila pemberi kerja adalah WP dengan tarif PPh final atau pemberian natura sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2018. Pengecualian ini mendorong tax planning yang merugikan negara dari segi penerimaan pajak (Dewanto & Wijaya, 2018). Selain itu, biaya upah dalam bentuk natura secara substansial merupakan biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan (Richter, 2006). Oleh karena itu, biaya natura dan/atau kenikmatan seharusnya dapat digolongkan sebagai deductible expense sesuai Pasal 6 ayat 1 UU PPh.

Pengaturan ulang objek natura sebagai objek PPh didorong oleh perilaku perusahaan yang memanfaatkan celah pajak dalam UU No. 36 Tahun 2008 (sebelum direvisi menjadi UU HPP). Perbedaan tarif PPh Pasal 21 dan tarif PPh Badan mendorong perilaku melakukan penghindaran pajak secara legal (tax avoidance).

Penghindaran Pajak Pada Imbalan Natura

Sebelum UU HPP, natura dan/atau kenikmatan merupakan salah satu instrumen tax avoidance bagi WP. Penghindaran pajak melalui natura dan/atau kenikmatan berfokus pada perbedaan tarif PPh wajib pajak orang pribadi dan badan. Prinsip pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan adalah beban pajak ditanggung oleh penerima. Prinsip ini dimanfaatkan WP untuk efisiensi pajak, mengurangi potensi penerimaan pajak. Skema efisiensi pajak melalui natura dan/atau kenikmatan sebelum UU HPP terbagi menjadi dua alternatif.

Alternatif pertama berlaku bagi pegawai dengan penghasilan dari pemberi kerja dikenakan tarif PPh progresif paling tinggi 15%. Imbalan dalam bentuk natura lebih menguntungkan perusahaan daripada imbalan tunai karena dikenakan tarif lebih rendah dari PPh badan 22%. Perusahaan dapat mengakui natura sebagai deductible expense, mengurangi PPh Badan yang harus dibayar (potential tax loss) karena selisih tarif PPh badan dan orang pribadi.

Alternatif kedua berlaku bagi pegawai dengan penghasilan dari perusahaan yang menggunakan tarif progresif lebih dari 15% (tarif PPh wajib pajak orang pribadi 15%-30%). Opsi ini memberlakukan natura sebagai non-taxable bagi pegawai dan non-deductible bagi perusahaan. Perusahaan sering memberikan natura kepada pegawai top level, seperti tunjangan rumah dan kendaraan. Skema ini membebankan tunjangan yang diterima pegawai top level kepada perusahaan untuk kepentingan pribadi mereka, mengurangi nilai PPh 21 yang harus dibayar pegawai top level dan mengalihkan beban pajak ke perusahaan, memengaruhi redistribusi pajak.

UU HPP mengatur ulang PPh atas natura dan/atau kenikmatan, menutup celah tax avoidance. UU HPP menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible, mencegah tax avoidance dan meningkatkan pemerataan serta keadilan. Perubahan ini mengurangi proporsi biaya yang dapat dibebankan secara fiskal oleh perusahaan, meningkatkan PPh Badan dan mengurangi nilai PPh wajib pajak orang pribadi penerima natura dan/atau kenikmatan.

Regulasi sebelum UU HPP terkait natura dan/atau kenikmatan menimbulkan distorsi ekonomi dengan membebankan pajak pada perusahaan. UU HPP mengatur natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible, mengoptimalkan perpajakan terutama dari PPh wajib pajak orang pribadi. Pemajakan natura dan/atau kenikmatan mengeruk potensi penerimaan pajak besar dari pegawai top level tanpa memberatkan pegawai low level. UU HPP fokus pada taxable income daripada deductibility, mengurangi distorsi ekonomi.

Dalam pengawasan, pengaturan ulang PPh natura dan/atau kenikmatan dalam objek pemotongan PPh Pasal 21 mempermudah pengawasan dan kepatuhan WP dan perusahaan. Mengawasi laporan SPT PPh 21 oleh pemberi kerja lebih efektif daripada mengawasi laporan SPT PPh wajib pajak orang pribadi pegawai. Mengawasi laporan pajak satu pemberi kerja yang mempekerjakan 1.000 pegawai lebih efisien daripada mengawasi 1.000 laporan pajak pegawai.

Tags: Natura dan KenikmatanPPh 21UU HPP
Share61Tweet38Send
Previous Post

Begini Pengaturan Pajak Bagi Digital Nomad

Next Post

Menakar Untung-Buntung Family Office di Indonesia

Muhammad Akbar Aditama

Muhammad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Related Posts

CTAS
Artikel

Mengapa CTAS Belum Siap?

24 Februari 2025
Artikel

Grey Area Peraturan ESG di Indonesia

21 Februari 2025
Pajak crazy rich
Analisis

Apakah Pajak Orang Kaya Mampu Mengurangi Ketimpangan?

21 Februari 2025
Lapor SPT
Artikel

Mengapa Wajib Pajak Masih Ragu Lapor SPT

21 Februari 2025
Analisis

Urgensi Reformasi Subsidi Elpiji

21 Februari 2025
Tax audit
Artikel

Menavigasi Sengketa Pajak di Indonesia

20 Februari 2025
Next Post

Menakar Untung-Buntung Family Office di Indonesia

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

PopularNews

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1447 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    849 shares
    Share 340 Tweet 212
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    784 shares
    Share 314 Tweet 196
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    693 shares
    Share 277 Tweet 173
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    660 shares
    Share 264 Tweet 165
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Peraturan
    • Ringkasan Peraturan
    • Infografik
  • Insight
    • Buletin
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
  • Liputan
    • Liputan Media
    • Webinar Pajak
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.